Sabtu, 25 Mei 2013

Anak berkebutuhan khusus "Tunanetra"




Pengertian 

         Tunanetra  adalah seseorang yang memilki gangguan pada organ mata yang tidak normal atau berkelainan dalam proses fisiologis melihat. Pada penderita tunanetra bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata, retina, dan ke saraf karena suatu sebab, misalnya kornea mata mengalami kerusakan, kering, keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan.

Penyebab

         Secara etiologi, timbulnya ketunanetraan disebabkan oleh faktor endogen dan faktor eksogen.
Ketunanetraan faktor endogen seperti keturunan (herediter) atau karena faktor eksogen seperti penyakit, kecelakaan, obat-obatan, dan lain-lain. Demikian pula dari kurun waktu terjadinya ketunanetraan dapat terjadi pada saat anak masih berada dalam kandungan, saat dilahirkan, maupun sesudah dilahirkan. Penelitian terhadap penyebab terjadinya ketunanetraan menurut statistik di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1950 bahwa sebagian besar penderita tunanetra disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF) dan maternal rubella. Pendertita tunanetra disebabkan retrolenta fibroplasia karena banyaknya bayi lahir sebelum waktunya (prematur).
        Berdasarkan riset medis secara intensif, pada akhir tahun 1954 di Amerika Serikat ditemukan, bahwa asal retrolenta fibroplasia disebabkan konsentrasi oksigen tinggi dalam kurung waktu lama yang diberikan pada bayi prematur. Penyakit maternal rubella sebagai salah satu penyebab tunanetra berdasarkan data statistik Amerika Serikat tahun 1968-1969 diketahui setiap 30.000 bayi dilahirkan prematur 1000 bayi diantaranya mengalami tunanetra. Sedangkan sisanya menderita tunarungu, tunagrahita, tunawicara, lumpuh, asma, dan lain-lain.
         Berdasarkan catatan yang berhasil dihimpun oleh nasional society for the prevention blindness diketahui frekuensi anak tunanetra yang terdaftar pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan antara tahun 1968-1969 bahwa ketunanetraan yang terjadi saat itu disebabkan oleh epidemi penyakit infeksi (rubella, toxoplasmosis), luka dan keracunan karena kesalahan perlakuan yang sistematis (eksesif oksigen), neoplasma, penyakit umum (kerusakan sistem saraf pusat) dan beberapa yang tidak terdeteksi. Distribusi frekuensi untuk masing-masing penyebab tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
         Presentase Penyebab Tunanetra Anak Usia Sekolah di Amerika Serikat
Tahun 1968-1969 (Cruickshank, 1980)
No.
Penyakit
Frekuensi
1.




2.



3.

4.



5.




6.


7.




Penyakit infeksi
-rubella
-toxoplasmosis
- lainnya

Luka dan racun
-eksesif oksigen (RLF)
- Lainnya

Neoplasma

Penyakit umum
-sistem saraf pusat
-lainnya

Pengaruh sebelum lahir
-keturunan
-penyebab lain

Tidak diketahui secara ilmiah

 Tidak dilaporkan
-RLF (tidak diketahui menggunakan oksigen)
-lainnya

1,3
0,7
0,7


5,8
2,1




0,9
0,5



41,5
8,3





18,0


15,8
2,8




7,8



3,7

1,3



49,8




0,8


33,6

Karateristik “Tunanetra”
Dilihat dari aspek kecerdasan anak tunanetra:

Menurut penelitian Heyes, seorang ahli pendidikan anak tunanetra, kesimpulan terhadap kondisi kecerdasan anak tunanetra sebagai berikut:
1    .       Ketunanetraan tidak secara otomatis mengakibatkan kecerdasan rendah.
2    .       Mulainya ketunanetraan tidak mempengaruhi tingkat kecerdasan.
3    .       Anak tunanetra ternyata banyak yang berhasil mencapai prestasi intelektual yang baik, apabila lingkungan memberikan kesempatan dan motivasi kepada anak tunanetra untuk berkembang.
4    .       Penyandang tunanetra tidak menunjukkan kelemahan dalam inteligensi verbal.
Menurut Cruickshank (1980), menjelaskan bahwa aplikasi terhadap struktur kecakapan anak tunanetra yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkoparasikan dengan anak normal antara lain sebagai berikut:
1    .       Anak tunanetra menerima pengalaman nyata yang sama dengan anak normal, dari pengalaman tersebut kemudian diintegrasikan kedalam pengertiannya sendiri.
2    .       Anak tunanetra cenderung menggunakan pendekatan konsektual yang abstrak menuju ke konkret, kemudian menuju fungsional serta terhadap konsekuensinya sedangkan pada anak normal yang terjadi sebaliknya.
3    .       Anak tunanetra pembendaharaan kata-katanya terbatas pada defenisi kata.
4    .       Anak tunanetra tidak dapat membandingkan, terutama dalam hal kecakapan murid.


Berdasarkan aspek fisik dan sensoris:
1    .       Memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu.
2    .       Perilaku mengetahui objek dengan cara mendengarkan suara dari objek yang akan diraih. Perilaku ini merupakan dalam perkembangan motorik
3    .       Perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan jari, menarik ke depan dan ke belakang, menggosok dan memutarkan serta menatap cahaya sinar matahari.
4    .       Penampilan ekspresi wajah yang kurang. Dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku.

      
Berdasarkan aspek pribadi dan sosial:
1    .       Kurangnya pemahaman tentang lingkungannya sehingga interaksi tersebut kurang menarik bagi lawannya (Lewis,V.,2003:35-59).
2    .       Hallahan & Kauffman (1991:313) mengemukakan bahwa hasil penelitiantidak menunjukkan bahwa anak tunanetra secara umum tidak dapatmenyesuaikan diri (maladjusted) sehingga masalah kepribadian bukanmerupakan sifat/pembawaan dari ketunanetraannya

3            Perbedaan kemampuan bicara antara anak normal dan anak tunanetra dalam berbagai refrensi    menurut Brieland (dalam Krik,1970) diketahui sebaga berikut:
a.       Anak tunanetra memiliki sedikit variasi vokal
b.      Modulasi suara kurang bagus
c.       Anak tunanetra mempunyai kecenderungan bicara keras
d.      Anak tunanetra mempunyai kecenderungan bicara lambat
e.      Penggunaan gerakan tubuh dan mimik kurang efektif
f.        Anak tunanetra menggunakan sedikit gerakan bibir dalam mengartikulasikan suara

Klasifikasi anak tunanetra

Derajat tunanetra berdasarkan distribusinya berada dalam rentangan yang berjenjang dari yang ringan sampai yang berat. Lebih jelasnya jenjang kelainan ditinjau dari ketajaman untuk melihat bayangan benda, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut :
1    .       Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan, pengobatan, atau alat optik tertentu. Anak yang termasuk dala kelompok ini tidak dikategorikan dalam kelompok anak tunanetran sebab ia dapat mengunakan fungsi pengihatan dengan baik untuk kegiatan belajar.
2    .       Anak yang mengalami kelainan penglihatan meskipun dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik tertentu masih mengalami kesulitan mengikuti kelas reguler sehingga diperlukan kompensasi pengajaran untuk mengganti kekurangannya. Anak yang memiliki kelainan penglihatan dalam kelompok kedua dapat dikategorikan sebagai anak tunanetra ringan sebab ia masih bisa membedakan bayangan praktek percakaan sehari-hari anak yang mauk dalam kelompok kedua ini lazi disebut anak tunanetra sebagian (partially seeing-children).
3    .       Anak yang megalami kelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik apapun, karena anak tidak mampu lagi memanfatkan indera penglihatannya. Ia hanya dapat didik melalui saluran lain selain mata. Dalam percakapa sehari-hari anak yang memiliki kelainan penglihatan dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan buta (tunanetra berat). Terminologi buta berdasaran rekomendasi dari  the white house coferebce on child health and education  di Amerika (1930), “seseorang dikatakan buta jika tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk kepentingan pendidikannya (pattorn, 1991).

Rekomendasi pendampingan

          Rekomendasi pendampingan bagi penderita tunanetra yaitu peran ligkungan (keluarga, masyarakat, sekolah) sangat membantu anak tunanetra untuk mengeliminasi potensi masalah yang dapat menghambat perkembangan psikososial anak tunanetra akibat keterbatasan kemampuannya.
Dalam hal ini peranan keluarga dituntut harus bijakasana untuk membantu anak tunanetra dalam mengatasi keterbatasannya. Sommer (1994) dalam penelitiannya menemukan bahwa sikap keluarga atau orang tua pada awal-awal melihat kecacatan anaknya sering kali cenderung melindungi. Kondisi ini bisa dipahami, barangkali hal ini merupakan perwujudan dari kasih sayang terhadap anaknya yang berkelainan, tetapi manifestasi kasih sayang yang demikian justru tidak mendidik. Sebab secara langsung atau tidak langsung bantuan yang berlebihan untuk anak tunanetra dapat merugikan anak tunanetra itu sendiri, karena aktifitasnya menjadi terbatas.
          Dari masyarakat, cara memandang anak tunanetra dengan pandangan negatif yang identik dengan ketidakberdayaan, ketergantungan, keputusasaan, dan sejenisnya dapat berakibat kia memojokkan keberadaannya. Anak tunanetra semakin tidak berdaya dalam melawan perguatan perasaanya untuk membaskan diri dari hambatan mencekam sebagai akibat ketunanetraan. Ekses-ekses negatif yang ditampakan oleh anak tunanetra sebernya tidak terlepas dari sikap lingkungan uang kurang bijaksan terhadap anak tunanetra. Oleh karena itu, jika  lingkungan dapat memberikan kesempatan untuk berkembang serta membantu anak tunanetra untuk melakukan penyesuaian sosial yang sebaik-baikya niscaya perkembangan kepribadian anak tunanetra tidak berbeda sebagaimana layaknya anak normal lainya.
         Dari segi peran pendidik, pengarahan dan pembinaan pengetahuan anak tunanetra tentang kenyataan yang ada disekitarnya juga menumbuhkan kepercayaan diri serta menanamkan perasaan bahwa dirinya dapat diakui dan diterima oleh lingkungan.

Probabilitas

 
   Hatfield (1975) mencatat hasi surveinya terhadap anak tunanetra tingkat sekolah dasar dan menengah yang terdaftar di American Printing House, bahwa angka kebutaan mencapai29,3% per 100.000 siswa yang mengalami ketunanetraan atau 1:2.500. Atau hamper 1 di antara 3 siswa yang mengalami ketunanetraan termasuk dalam klasifikasi buta total ( dalam Cruickshank,1980 )

Daftar pustaka
Efendi, Muhammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar