Ini merupakan lembar kerja siswa (LKS) mata pelajaran IPA kelas 4
Silahkan klik di sini
Minggu, 26 Mei 2013
Tugas Bimbingan Konseling
Ini merupakan tugas Mata Kuliah Bimbingan Konseling saya di Semester 2....
Untuk dapat membacanya, silahkan klik disini
Untuk dapat membacanya, silahkan klik disini
Pendekatan terhadap siswa/i SLB
AGAR LEBIH DAPAT MEMAHAMI SISWA/I SLB, silahkan membaca teks di bawah ini! ^^
Kesulitan
guru dalam mengajar
- Apabila guru tidak pandai
memotivasi anak anak sulit mengikuti olahraga
- Dalam mendalami karakter dan
keadaan anak karena dengan mengetahui karakter dan keberadaan anak maka
pembelajaran akan lebih berhasil.
- Disini guru harus ekstra lebih
keras dalam memperhatikan siswa siswa SLB.
- Komunikasi yang kurang baik
juga dirasakan guru dalam mengajar.
- Siswa siswa yang kurang
perhatian dalam melakukan pembelajaran.
Cara
mengatasi kesulitan dalam mengajar
- Mendekati anak secara
individual
- Memotivasi denganbenar
- Mengajak anak unntuk bermain
yang menyenangkan
- Strategi mengajar sesuai
tingkat kelas
- Dalam mengajar strategi yang
diterapkan sesuai dengan keberadaan anak dari yang lebih mudah baru menuju
ke level yang lebih sulit
- Pembedaan materi terhadap usia
kecil dengan tanggung begitu juga usia atas
- Perlunya permainan dalam
berolahraga
- Kemampuan dalam
berolahraga,anak dalam mengikuti olahraga juga berbeda beda perilakunya.
Strategi
mengajar
- Dalam mengajar strategi yang
diterapkan sesuai dengan keberadaan anak dari yang lebih mudah kemudian
menuju yang kompleks atau susah.
- Perbedaan materi yang
diterapkan sesuai kelas
- Penambahan permainan dalam
melakukan pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
RPP IPS Kelas 2 Semester 1
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Sekolah : SD
Negeri Pelita Kasih
Mata Pelajaran : IPS
Kelas/Semester : 2 / I
Alokasi Waktu : 1 x 30 menit
I.
Standar Kompetensi
1. Memahami peristiwa penting dalam keluarga secara kronologis.
II. Kompetensi Dasar
1.3 Menceritakan peristiwa
penting dalam keluarga secara kronologis.
III. Indikator
1.3.1 Menyebutkan anggota keluarga yang tinggal
dalam satu rumah
1.3.2
Mengetahui arti pentingnya keluarga
1.3.3 Mengidentifikasi peristiwa penting yang
pernah dialami dalam keluarga
1.3.4 Menceritakan peristiwa
penting di dalam keluarga secara kronologis
IV. Tujuan Pembelajaran
1. Siswa
dapat menyebutkan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
2.
Siswa
dapat mengetahui arti pentingnya keluarga.
3.
Siswa
dapat mengidentifikasi peristiwa penting yang pernah dialami dalam keluarga.
4.
Siswa
dapat menceritakan peristiwa penting di dalam keluarga secara kronologis.
V. Materi
Ajar
1.
Arti
keluarga
2.
Mengapa
keluarga itu penting
3.
Contoh
peristiwa penting dalam keluarga
4.
Mengapa
peristiwa penting dalam keluarga harus diingat
VI. Metode
Pembelajaran
Diskusi dan tanya jawab
VII. Kegiatan
Pembelajaran
A. Kegiatan
Awal :
ü Siswa
dan guru mengawali pelajaran dengan berdoa.
ü Guru
melakukan presensi kelas.
ü Siswa
mendengarkan penjelasan dari guru tentang materi dan indikator yang akan
dipelajari.
ü Siswa
secara bergiliran menyebutkan anggota keluarga dan arti pentingnya keluarga.
B. Kegiatan
Inti :
ü Siswa
memperhatikan gambar-gambar yang ditunjukkan guru.
ü Siswa
dibimbing guru mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah dialami oleh
siswa.
ü Siswa
menulis dalam bukunya sebuah cerita mengenai peristiwa yang menyenangkan,
menyedihkan atau menakutkan.
ü Beberapa
siswa menceritakan peristiwa yang pernah dialaminya di depan kelas.
C. Kegiatan
Akhir
ü Siswa
dan guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
ü Siswa
dan guru merefleksikan pentingnya keluarga dalam hidup.
ü Siswa
bersama dengan guru melakukan doa penutup.
VIII. Penilaian
A. Teknik : Lisan
B. Bentuk : Bercerita
IX. Media
Pembelajaran
Ø Gambar-gambar anggota keluarga
Ø Gambar gunung
Ø Gambar laut
X. Sumber Belajar
·
Kuswanto dan
Y.Suharjanto. 2008. BSE Ilmu Pengetahuan
Sosial untuk Sekolah Dasar/MI Kelas 2. Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
·
Lingkungan
keluarga
Mengetahui, Yogyakarta, 8 November 2012
Kepala SD Negeri Pelita Kasih Guru Mata Pelajaran
Drs. Bambang Purnomo, M.Pd. Agustina Wahyu Riyati, S.Pd.
NIP. 19621214 197402 1 002 NIP. 19700202 200701 2 023
Gambaran Manusia Pancasila
Untuk lebih memahami arti dari Gambaran Manusia Pancasila, silahkan mendownload di sini
strategi pengajaran
Strategi-Strategi Pengajaran
- Strategi Pengajaran Dalam Ruang Kelas
Perincian dari Strategi Pengajaran Dalam Ruang Kelas
Sabtu, 25 Mei 2013
Anak berkebutuhan khusus "Tunanetra"
Pengertian
Tunanetra adalah
seseorang yang memilki gangguan pada organ mata yang tidak normal atau
berkelainan dalam proses fisiologis melihat. Pada penderita tunanetra bayangan
benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan oleh kornea, lensa mata,
retina, dan ke saraf karena suatu sebab, misalnya kornea mata mengalami
kerusakan, kering, keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang
menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan.
Penyebab
Secara etiologi, timbulnya ketunanetraan disebabkan oleh
faktor endogen dan faktor eksogen.
Ketunanetraan faktor endogen seperti keturunan (herediter)
atau karena faktor eksogen seperti penyakit, kecelakaan, obat-obatan, dan
lain-lain. Demikian pula dari kurun waktu terjadinya ketunanetraan dapat terjadi
pada saat anak masih berada dalam kandungan, saat dilahirkan, maupun sesudah
dilahirkan. Penelitian terhadap penyebab terjadinya ketunanetraan menurut
statistik di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1950 bahwa sebagian besar
penderita tunanetra disebabkan oleh retrolenta fibroplasia (RLF) dan maternal
rubella. Pendertita tunanetra disebabkan retrolenta fibroplasia karena
banyaknya bayi lahir sebelum waktunya (prematur).
Berdasarkan riset medis secara intensif, pada akhir tahun
1954 di Amerika Serikat ditemukan, bahwa asal retrolenta fibroplasia disebabkan
konsentrasi oksigen tinggi dalam kurung waktu lama yang diberikan pada bayi
prematur. Penyakit maternal rubella sebagai salah satu penyebab tunanetra
berdasarkan data statistik Amerika Serikat tahun 1968-1969 diketahui setiap
30.000 bayi dilahirkan prematur 1000 bayi diantaranya mengalami tunanetra.
Sedangkan sisanya menderita tunarungu, tunagrahita, tunawicara, lumpuh, asma,
dan lain-lain.
Berdasarkan catatan yang berhasil dihimpun oleh nasional
society for the prevention blindness diketahui frekuensi anak tunanetra yang
terdaftar pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan antara tahun 1968-1969 bahwa
ketunanetraan yang terjadi saat itu disebabkan oleh epidemi penyakit infeksi
(rubella, toxoplasmosis), luka dan keracunan karena kesalahan perlakuan yang
sistematis (eksesif oksigen), neoplasma, penyakit umum (kerusakan sistem saraf
pusat) dan beberapa yang tidak terdeteksi. Distribusi frekuensi untuk
masing-masing penyebab tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Presentase Penyebab Tunanetra Anak Usia Sekolah di Amerika
Serikat
Tahun 1968-1969 (Cruickshank, 1980)
No.
|
Penyakit
|
Frekuensi
|
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
|
Penyakit infeksi
-rubella
-toxoplasmosis
- lainnya
Luka dan racun
-eksesif oksigen (RLF)
- Lainnya
Neoplasma
Penyakit umum
-sistem saraf pusat
-lainnya
Pengaruh sebelum lahir
-keturunan
-penyebab lain
Tidak diketahui secara ilmiah
Tidak dilaporkan
-RLF (tidak diketahui menggunakan oksigen)
-lainnya
|
1,3
0,7
0,7
5,8
2,1
0,9
0,5
41,5
8,3
18,0
15,8
|
2,8
7,8
3,7
1,3
49,8
0,8
33,6
|
Karateristik “Tunanetra”
Dilihat dari aspek kecerdasan anak tunanetra:
Menurut penelitian Heyes, seorang ahli pendidikan anak
tunanetra, kesimpulan terhadap kondisi kecerdasan anak tunanetra sebagai
berikut:
1 .
Ketunanetraan tidak secara otomatis
mengakibatkan kecerdasan rendah.
2 .
Mulainya ketunanetraan tidak mempengaruhi
tingkat kecerdasan.
3 .
Anak tunanetra ternyata banyak yang berhasil
mencapai prestasi intelektual yang baik, apabila lingkungan memberikan
kesempatan dan motivasi kepada anak tunanetra untuk berkembang.
4 .
Penyandang tunanetra tidak menunjukkan kelemahan
dalam inteligensi verbal.
Menurut Cruickshank (1980), menjelaskan bahwa aplikasi
terhadap struktur kecakapan anak tunanetra yang dapat digunakan sebagai dasar
untuk mengkoparasikan dengan anak normal antara lain sebagai berikut:
1 .
Anak tunanetra menerima pengalaman nyata yang
sama dengan anak normal, dari pengalaman tersebut kemudian diintegrasikan
kedalam pengertiannya sendiri.
2 .
Anak tunanetra cenderung menggunakan pendekatan
konsektual yang abstrak menuju ke konkret, kemudian menuju fungsional serta
terhadap konsekuensinya sedangkan pada anak normal yang terjadi sebaliknya.
3 .
Anak tunanetra pembendaharaan kata-katanya
terbatas pada defenisi kata.
4 .
Anak tunanetra tidak dapat membandingkan,
terutama dalam hal kecakapan murid.
Berdasarkan aspek fisik dan sensoris:
1 .
Memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari
itu.
2 .
Perilaku mengetahui objek dengan cara
mendengarkan suara dari objek yang akan diraih. Perilaku ini merupakan dalam
perkembangan motorik
3 .
Perilaku menekan dan suka menepuk mata dengan
jari, menarik ke depan dan ke belakang, menggosok dan memutarkan serta menatap
cahaya sinar matahari.
4 .
Penampilan ekspresi wajah yang kurang. Dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang
ajeg serta agak kaku.
Berdasarkan aspek pribadi dan sosial:
1 .
Kurangnya pemahaman tentang lingkungannya
sehingga interaksi tersebut kurang menarik bagi lawannya (Lewis,V.,2003:35-59).
2 .
Hallahan & Kauffman (1991:313) mengemukakan bahwa
hasil penelitiantidak menunjukkan bahwa anak tunanetra secara umum tidak
dapatmenyesuaikan diri (maladjusted)
sehingga masalah kepribadian bukanmerupakan sifat/pembawaan dari
ketunanetraannya
3 Perbedaan kemampuan bicara
antara anak normal dan anak tunanetra dalam berbagai refrensi menurut Brieland
(dalam Krik,1970) diketahui sebaga berikut:
a.
Anak tunanetra memiliki
sedikit variasi vokal
b.
Modulasi suara kurang
bagus
c.
Anak tunanetra mempunyai
kecenderungan bicara keras
d.
Anak tunanetra mempunyai
kecenderungan bicara lambat
e.
Penggunaan gerakan tubuh
dan mimik kurang efektif
f.
Anak tunanetra menggunakan
sedikit gerakan bibir dalam mengartikulasikan suara
Klasifikasi anak tunanetra
Derajat tunanetra berdasarkan distribusinya berada dalam
rentangan yang berjenjang dari yang ringan sampai yang berat. Lebih jelasnya
jenjang kelainan ditinjau dari ketajaman untuk melihat bayangan benda, dapat
dikelompokkan menjadi sebagai berikut :
1 .
Anak yang mengalami kelainan penglihatan yang
mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan, pengobatan, atau alat optik
tertentu. Anak yang termasuk dala kelompok ini tidak dikategorikan dalam
kelompok anak tunanetran sebab ia dapat mengunakan fungsi pengihatan dengan
baik untuk kegiatan belajar.
2 .
Anak yang mengalami kelainan penglihatan
meskipun dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik tertentu masih mengalami
kesulitan mengikuti kelas reguler sehingga diperlukan kompensasi pengajaran
untuk mengganti kekurangannya. Anak yang memiliki kelainan penglihatan dalam
kelompok kedua dapat dikategorikan sebagai anak tunanetra ringan sebab ia masih
bisa membedakan bayangan praktek percakaan sehari-hari anak yang mauk dalam
kelompok kedua ini lazi disebut anak tunanetra sebagian (partially seeing-children).
3 .
Anak yang megalami kelainan penglihatan yang
tidak dapat dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik apapun, karena anak
tidak mampu lagi memanfatkan indera penglihatannya. Ia hanya dapat didik
melalui saluran lain selain mata. Dalam percakapa sehari-hari anak yang
memiliki kelainan penglihatan dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan buta
(tunanetra berat). Terminologi buta berdasaran rekomendasi dari the
white house coferebce on child health and education di Amerika (1930), “seseorang dikatakan buta
jika tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk kepentingan pendidikannya
(pattorn, 1991).
Rekomendasi pendampingan
Rekomendasi pendampingan bagi penderita tunanetra yaitu
peran ligkungan (keluarga, masyarakat, sekolah) sangat membantu anak tunanetra untuk
mengeliminasi potensi masalah yang dapat menghambat perkembangan psikososial
anak tunanetra akibat keterbatasan kemampuannya.
Dalam hal ini peranan keluarga dituntut harus bijakasana
untuk membantu anak tunanetra dalam mengatasi keterbatasannya. Sommer (1994)
dalam penelitiannya menemukan bahwa sikap keluarga atau orang tua pada
awal-awal melihat kecacatan anaknya sering kali cenderung melindungi. Kondisi
ini bisa dipahami, barangkali hal ini merupakan perwujudan dari kasih sayang
terhadap anaknya yang berkelainan, tetapi manifestasi kasih sayang yang
demikian justru tidak mendidik. Sebab secara langsung atau tidak langsung
bantuan yang berlebihan untuk anak tunanetra dapat merugikan anak tunanetra itu
sendiri, karena aktifitasnya menjadi terbatas.
Dari masyarakat, cara memandang anak tunanetra dengan
pandangan negatif yang identik dengan ketidakberdayaan, ketergantungan,
keputusasaan, dan sejenisnya dapat berakibat kia memojokkan keberadaannya. Anak
tunanetra semakin tidak berdaya dalam melawan perguatan perasaanya untuk
membaskan diri dari hambatan mencekam sebagai akibat ketunanetraan. Ekses-ekses
negatif yang ditampakan oleh anak tunanetra sebernya tidak terlepas dari sikap
lingkungan uang kurang bijaksan terhadap anak tunanetra. Oleh karena itu, jika lingkungan dapat memberikan kesempatan untuk
berkembang serta membantu anak tunanetra untuk melakukan penyesuaian sosial
yang sebaik-baikya niscaya perkembangan kepribadian anak tunanetra tidak
berbeda sebagaimana layaknya anak normal lainya.
Dari segi peran pendidik, pengarahan dan pembinaan
pengetahuan anak tunanetra tentang kenyataan yang ada disekitarnya juga
menumbuhkan kepercayaan diri serta menanamkan perasaan bahwa dirinya dapat
diakui dan diterima oleh lingkungan.
Probabilitas
Hatfield (1975) mencatat hasi surveinya terhadap anak tunanetra tingkat sekolah dasar dan menengah yang terdaftar di American
Printing House, bahwa angka kebutaan
mencapai29,3% per 100.000 siswa yang mengalami ketunanetraan atau 1:2.500.
Atau hamper 1
di antara 3 siswa yang mengalami ketunanetraan termasuk dalam klasifikasi buta total ( dalam
Cruickshank,1980 )
Daftar pustaka
Efendi, Muhammad. 2006. Pengantar
Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta. PT Bumi Aksara.
Langganan:
Postingan (Atom)